Friday, May 9, 2008

Guru Dalam Tantangan Kultural

Oleh: ZAINUDDIN

Dengan penantian yang melelahkan, kabar gembira untuk guru akhirnya tiba. Diawali dengan perjuangan memperoleh jaminan profesional, pengakuan kompetensi, sampai kesediaan pemerintah membayar tunjangan profesi.
Anugrah ini memang dirintis oleh berkembangnya keprihatinan dan opini publik tentang potret pendidikan dan nasib guru di negeri ini. Terartikulasikan dengan detail melalui perdebatan panjang antar pihak-pihak pengambil keputusan hingga akhirnya mengikat kesepakatan, ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Performa guru mengalami reidealisasi dan revitalisasi dengan kebijakan publik ini. “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional” (Bab IV Pasal 8). Dalam makna yang dalam, undang-undang ini telah menunjukkan peta kepemilikan guru untuk dapat menjalankan tugas profesi, menjaga integritas dan mengangkat martabatnya.

Secara teknis guru difasilitasi untuk menjalani uji kompetensi melalui penilaian portofolio atau pendidikan profesi untuk memperoleh sertifikat pendidik. Apabila telah mengantongi sertifikat dimaksud, mereka mendapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.

Kebijakan yang cukup populer di kalangan pendidik ini kembali membangkitkan keyakinan dan optimisme. Betapa tidak, karena kinerja guru dan mutu pendidikan cukup lama distigmakan. Tidak kunjung meraih kemajuan yang berarti, jauh tertinggal dari raihan negeri manca. Guru dengan jaminan profesionalisme dan kompetensi diharapkan memecah kebuntuan itu. Pendidikan dipercaya tegap kembali menebar kebangkitan.

Fokus Panggilan Profesi

Memperoleh jasa pelayanan pendidikan menjadi bagian dari sekian panjang daftar kepentingan masyarakat. Jika terbersit tanda-tanda kebangkitan, sambutan dan dukungan segera datang menjemput. Timbul harapan baru akan mendapat kepuasan dari pelayanan yang bertambah. Kepentingan dan harapan umum itu adalah panggilan profesi. Seruan untuk mengulurkan ketulusan dan kesungguhan. Panggilan menyajikan produk ilmu dan amal, memenuhi kepentingan, meluluskan harapan.

Diperlukan kesadaran dan kepekaan untuk dengan mudah mendengar dan menunaikan panggilan itu. Keluasan wawasan ilmu, intensitas pengalaman dan penghayatan spiritual dapat mendorong timbulnya kearifan dan keinsafan itu. Dalam timbangan yang wajar, unsur-unsur dasar itu ada pada guru. Dengan itu mereka paham esensi, misi dan visi hidup. Dari situ mereka bangkit menyambut panggilan profesi.

Membulatkan hati untuk berkarir sebagai guru adalah akad untuk menerima mandat/amanat sebagai pelayan pendidikan. Keputusan hati itu menuntut tanggung jawab dan konsistensi, karena jasa pelayanan pendidikan itu bersifat khas dan unik. Hanya guru (pendidik) yang bisa profesional menunaikannya. Karena mereka memiliki ilmu dan kompetensi khusus untuk jasa pelayanan publik itu. Dengan tanggung jawab profesional, guru terpanggil dan fokus menjalankan tugas profesinya. Terbengkalai kepentingan umum itu, jika guru tidak konsisten dalam tugasnya. Tuntutan konsentrasi itu wajar adanya. Setiap pekerjaan butuh ketekunan, lebih-lebih pekerjaan mendidik.

Integritas dan Komitmen

Karena kuatnya tekanan eksternal, ada risiko bahwa guru mengesampingkan panggilan jiwa. Bekerja tidak sepenuh hati dan tidak optimal menuang tenaga. Bahkan ada yang larut dalam perbuatan tidak patut, mencederai keluhuran profesi dan menurunkan tingkat kepercayaan publik. Ini semua kerap terjadi lantaran lemahnya integritas dan rendahnya komitmen profesional.

Cukup terasa bahwa “insiden” guru itu memakan waktu dan membuang energi. Konsentrasi pelayanan dan pemberdayaan siswa terganggu dan otomatis pencitraan dunia pendidikan meredup, pucat pasi. Pengalaman ini tentu tidak aneh, mengingat peran guru yang amat strategis. Berpengaruh besar dan signifikan dalam semua pilihan pelayanan. Jadi benar adanya bahwa keberlangsungan, keberhasilan dan citra pendidikan memang bertumpu pada kerja-kerja guru.

Belum ada tanda-tanda, gelombang godaan itu akan surut. Kehidupan sosial dan kebudayaan yang tertawan oleh materialisme nan hedonis; prospek ekonomi yang tak menentu serta dinamika politik yang tak kunjung stabil; mengisyaratkan tantangan pendidikan masih terus menganga. Problem makro itu menumpahkan berbagai macam penyimpangan perilaku yang mengangkangi nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Tak ayal bila setiap hari selalu ada suguhan drama eksploitasi, mafia, kezaliman dan kejahatan dengan segala derivatifnya. Semua berisiko masuk dalam ranah pendidikan. Dampaknya sangat serius, tidak kecuali melemahkan kepribadian dan kinerja pendidik. Ujung-ujungnya menurunkan efektivitas pendidikan.

Beruntung masih ada yang kokoh dengan idealisme, integritas dan komitmen profesional. Mereka punya impian masa depan yang terus mengilhami dan mendorong semangat kerja. Sadar akan karakter dan harga diri, serta berpenampilan ikhlas mengemban tugas ditengah terpaan rintangan.

Tangan dingin mereka banyak andil menumbuhkan anak-anak unggul, berprestasi tinggi hingga ke negeri manca. Rekan sejawat, anak didik, orang tua bahkan masyarakat sekitar mengapresiasi mereka sebagai agen pembelajaran dan pembaruan. Dalam kancah kehidupan luas, mereka banyak ambil peran dalam kegiatan sosial, keagamaan dan pengembangan profesi.

Adanya kiprah serupa, meski dalam skala kecil, sudah cukup memberi arti bagi kehadiran pendidikan. Misi dan berkah pendidikan bisa tersemai dan merambah ke semua lini kehidupan. Pendidikan menjadi eksis sebagai bagian dari kekuatan kultural.

Bangun Kultur Rohani

Kebudayaan terus bergerak menuang karya menawarkan kenyamanan. Jika dilihat dengan tolok ukur fisik (material), kebudayaan kontemporer memang maju pesat. Dan seolah tak pernah lelah menghela kemajuan. Tak ada interest dan kebutuhan dibiar lewat tak kesampaian. Tak ada waktu dibiar berlalu tanpa kreasi dan perubahan. Gairah kultural itu kini telah melampaui kemajuan luar biasa.

Pasar global, kapitalisme liberal dan persaingan bebas adalah simpul-simpul kendali yang menentukan degup kehidupan masa kini. Dalam kenyataan aktual, efek kendali itu memang sangat kuat. Mampu mempengaruhi orang sejagad, menembus batas-batas konvensional. Sanggup mengubah pola dan gaya hidup, melangkahi tata nilai dan norma-norma. Tidak ada satu pun ranah hayati ini luput dari kontrol kekuatan liberal.

Akibatnya, dibalik peluang menikmati hidup yang berlebih itu, ada tampilan tak indah mengganggu harmoni kultural. Mudah terjadi penyimpangan perilaku dalam segala bentuk kezaliman dan kejahatan. Betapa dari situ timbul keterpurukan hayati dan kerusakan lingkungan dengan segala imbasnya yang tak berujung. Semua berpangkal dari lemahnya komitmen ilahiah dan rendahnya apresiasi nilai kemanusiaan.

Unsur-unsur kekuatan rohani memang belum tumbuh sepenuhnya. Potensi batin itu tampaknya dibiar tumbuh dengan sendirinya. Belum ada upaya serius membangunnya. Ranah kekuatan jiwa itu belum berkembang menjadi kultur rohani yang kuat. Kelemahan itu terindikasi dengan rendahnya mutu tampilan keseharian. Tampak tidak ada energi rohani yang membangkitkan optimisme dan impian masa depan. Tidak ada kekuatan untuk meneguhkan perilaku terpuji. Dan tidak ada link rohani yang menaut hati sesama. Melihat kecenderungan kehidupan lokal-global yang kian memprihatinkan, saatnya upaya serius membangun kultur rohani mulai dipasang.

Kekuatan Kultural

Semua aspek perhidmatan umum tak terkecuali bidang pendidikan mengikuti arus deras kehidupan global. Pendidikan terkungkung dalam pusaran akademik-intelektualistik yang dituang dalam pajangan angka-angka. Nyaris tak menimbang bobot afektif-spiritual dalam simbol-simbol capaiannya. Guru dan murid dibuai (dipaksa?) mengejar hasil belajar dengan indikator kuantitatif karena hanya dengan itu kerja mereka dihargai. Potensi rohani tidak sepenuhnya teraktualisasikan. Sasaran pembelajaran tidak menjangkau kedalaman profil hayati.

Jika tren budaya kian jauh meninggalkan martabat insani, dan pendidikan terkulai kehilangan orientasi, maka tidak ada lagi yang diandalkan mampu memberi pembelaan dan proteksi terhadap keagungan harmoni kemanusiaan. Bila ini dibiarkan berlarut, tidak mustahil akan terjadi krisis kehidupan yang rumit dan berkepanjangan.

Dengan kepekaan naluri pendidik, guru mudah merasakan problem sosial itu. Dalam forum kesejawatan dan kajian-kajian umum, keprihatinan itu kerap mengemuka. Dan untuk ikhtiar membangun kultur sekolah, isu-isu sosial itu justru menjadi argumen revitalisasi tampilan dan pelayanan. Pada level kelas pun guru melakukan reorientasi pembelajaran. Semua dilakukan merujuk pada tuntutan citra sekolah yang berbudaya. Ditandai dengan berkembangnya komunikasi dan interaksi yang tulus, mengusung misi manusiawi, how to live together.

Namun bisa jadi bak setetes air di padang pasir. Apalah artinya tindakan guru di level kelas dibanding hiruk pikuk keramaian pasar global yang merambah hingga bilik-bilik sekolah. Apalah artinya semua itu dibanding kepongahan politik culas yang mencabik-cabik dan melumat sampai ke pojok-pojok kampung. Risiko bias gaya hidup modern begitu gagah mendekap seantero jagad. Pendidikan pun dibuatnya lunglai, tak kuasa menahan diri menetapi arah.

Membiarkan pendidikan dibekap seperti itu tentulah tidak lazim. Sejarah berulang-ulang mengajari bahwa gagasan dan gerakan pembaruan selalu bangkit dari kancah pendidikan. Pendidikan adalah kekuatan kultural. Dimana ditempa karakter dan idealisme yang kuat. Dari padanya berkembang wawasan, sikap kritis dan terbuka. Dari situ peri kehidupan dikoreksi. Dan dari situ perjalanan kultur diluruskan.

Berkepentingan dengan pendidikan tentu karena keinginan membangun kehidupan yang tercerahkan serta menyiapkan tunas-tunas penerus yang lebih unggul. Keinginan itu mengandaikan adanya wahana tempaan yang kondusif dengan peran pendidik yang visioner, sanggup memberdayakan anak didik untuk peran-peran masa depan.

Gugus tugas guru berangkai panjang dari kepentingan publik hingga masa depan anak didik. Pekerjaannya menyambut tuntutan hari ini yang bertilas sampai berturun-turun nanti. Kemampuannya dituntut andal dan tampilannya digambar elok. Seindah impian orang tua untuk anaknya. “Engkau sebagai pelita dalam kegelapan, Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa”, demikian himne itu membangun citra guru.

Peran seluhur itu diemban guru dalam tantangan kultural yang kelewat berat. Sudah selayaknya ada sekerat anugerah. Dan yang lebih penting, sudah saatnya mengulur hati merasa bersama!

Penulis adalah Peminat Pembaruan Pendidikan,
Tinggal di Bojonegoro.

Sumber: Widya, Edisi Bulan April 2008, halaman 21-23

Selengkapnya.....

Pengembangan Kultur Sekolah

Menggalang Pembelajaran Berbasis Karakter

Oleh: ZAINUDDIN

Kebudayaan menunjukkan kesanggupan untuk menampilkan karakter dasar (basic character) manusia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, dalam dinamika kehidupan nyata. Karakter dasar itu adalah sifat-sifat utama yang secara azali melekat dalam penciptaan manusia, yang seterusnya menjadi tabiat dan pembawaan hidup yang menyatu dalam totalitas kehidupannya. Sifat-sifat dimaksud, untuk menyebut beberapa saja, seperti tunduk kepada Tuhan, kasih-sayang, adil, setia kawan, bersih, jujur, melindungi, memelihara, kreatif, mampu menguasai diri (memimpin), sabar, santun dan sebagainya.

Sifat-sifat dasar itu secara kodrati menjadi khazanah integritas kepribadian, yang karenanya secara universal menentukan harkat dan kehormatan manusia. Dalam tataran perilaku, sifat-sifat ideal itu telah menjadi nilai-nilai (values) yang berlaku sebagai rujukan dan tolok ukur tindak-tanduk seseorang, kelompok dan bahkan masyarakat luas. Dalam tampilan makro, nilai-nilai itu berkorelasi dengan perkembangan kultur. Artinya, tinggi-rendahnya peradaban dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan oleh kadar kesanggupan mereka untuk mengaktualisasikan khazanah nilai-nilai itu. Dalam kondisi normal, aktualisasi itu akan terus mengalir dalam tampilan kultural dengan segala aspeknya.

Kadar kesanggupan itu tidaklah terbentuk dengan sendirinya, tanpa intervensi dan pemberdayaan. Perlu waktu panjang dan kerja keras untuk itu. Tidak jarang terjadi bahwa keberhasilan perjuangan itu harus dibayar dengan pengorbanan-pengorbanan. Justru disinilah letak keunikan dan syarat perkembangan suatu kultur. Bahwa kemajuan-kemajuan itu ditunjukkan oleh meningkatnya kemampuan masyarakat. Dan kemampuan itu tidak akan diperoleh kecuali melalui proses pendidikan, yang didalamnya terdapat aktivitas pembelajaran, pelatihan & bimbingan, serta pola-pola interaksi lainnya. Dalam perkembangan kebudayaan, proses itulah yang memerlukan intervensi dan pemberdayaan. Bisa jadi proses itu akan menempuh jalan panjang dan beragam karena kompleksnya tuntutan perkembangan kehidupan. Tetapi yang terpenting dalam proses budaya itu adalah bahwa secara dini “peserta didik” telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang karakter dasar dan khazanah kepribadian yang wajib dirujuk dalam setiap kegiatan belajar. Perkembangan kultur dalam arti yang sebenarnya, baru dapat dinyatakan berlangsung jika kebutuhan terpenting itu terpenuhi. Bekal awal itulah yang dapat menjamin bahwa insan budaya akan setia menjaga dan membela kehormatan dirinya.

Sekolah adalah satuan pendidikan yang secara manajerial memberikan produk – berupa jasa pelayanan pendidikan – kepada peserta didik. Jasa pelayanan itu dibentuk dan dimatangkan dari pelbagai daya dukung (fisik dan non fisik), termasuk didalamnya masukan kultural. Dengan masukan komprehensif, jasa pelayanan itu memiliki kekuatan transformatif yang tinggi, relevan dengan tuntutan kehidupan masyarakat luas, dan dapat dipertanggung jawabkan menurut perspektif kultural. Yang terakhir ini mengartikan bahwa khazanah nilai-nilai budaya itu tampak menyatu dalam aspek-aspek pelayanan pendidikan.

Gambaran tentang kerja manajemen diatas dapat memetakan pengembangan kultur di sekolah :

1. Bahwa pengembangan kultur sekolah dilakukan dalam setiap kegiatan manajemen, sekurang-kurangya mulai dari perencanaan produk, penyusunan (pembuatan) produk, sampai pada penyampaian produk kepada siswa.
2. Perencanaan produk dilakukan untuk menentukan jenis dan spesifikasi pelayanan yang akan diberikan kepada siswa.
3. Produk pelayanan disusun (dibentuk) dengan mengidentifikasi dan memastikan kesiapan daya dukung yang diperlukan.
4. Produk manajemen – berupa jasa pelayanan pendidikan – diberikan kepada siswa melalui kegiatan pengajaran, pelatihan dan bimbingan serta pola-pola interaksi lainnya.
5. Seluruh kegiatan manajemen terorganisir dengan rapi dan solid, melibatkan semua unsur fungsional sekolah – level manajemen, profesional dan kelas. Didalamnya terjadi dinamika yang ditandai dengan adanya komunikasi, interaksi dan kolaborasi, yang dilakukan oleh semua warga sekolah.

Jika semua kegiatan itu membawa muatan kultural, mengemban misi aktualisasi khazanah integritas kepribadian universal, maka pengembangan kultur sekolah telah berjalan, diusung oleh semua komponen masyarakat sekolah. Keterpaduan dan kekompakan ini terindikasikan dalam kebijakan, struktur, latar fisik, suasana, hubungan dan sistem sekolah, yang secara produktif memberikan pengalaman bermakna, utamanya bagi peserta didik.

Performa manajemen sekolah, begitu juga kerjanya, ditandai dengan berkembangnya produk-produk pelayanan yang bermutu, yang mampu memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi pertumbuhan kepribadian peserta didik. Pertumbuhan itu tampak dengan adanya komitmen dan kesanggupan untuk menampilkan khazanah integritas kepribadian itu dalam perilaku yang wajar dan utuh. Sebagai kekuatan budaya, sekolah mengemban penuh mandat itu meskipun (pada era kekinian) berhadapan dengan tren kehidupan umum yang menjauh dari tuntutan kultural sejati.

Untuk fungsi itu, sekolah merancang produk pelayanan pendidikan dengan model-model yang kreatif dan bervariasi, berintikan pemberdayaan siswa untuk menumbuhkan karakter dasar dan potensi dirinya. Sebagai produk manajemen, pelayanan itu lahir dari proses yang matang, berlangsung dalam tahap-tahap yang teratur, melibat daya dukung semua unsur sekolah, dan kontribusi komponen eksternal, serta melalui uji penjaminan mutu yang transparan dan obyektif. Dengan proses itu, pelayanan sekolah telah meyakinkan sebagai produk yang berbobot, layak dan laku.

Berorientasi pada pengembangan kultur, model-model produk pelayanan itu didesain dengan pertimbangan yang jelas, memberikan ruang dan mengakses kepentingan pengembangan karakter dan potensi peserta didik. Desain produk itu setidak-tidaknya memberikan peluang kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan dasar pengembangan kultur, seperti observasi, kontemplasi dan aktualisasi. Dari segi isi (content), kegiatan itu bermaterikan penjabaran unsur-unsur kurikulum/silabus, serta wawasan kultural yang diangkat dari khazanah integritas ideal dan tampilan riil kultur masyarakat luas. Kedua unsur materi itu digelar secara terpadu sehingga memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi keutuhan perkembangan siswa.

Zainuddin,
Kepala Subdin Pendidikan Menengah
Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro.

Sumber: Jatim Plus, Edisi 21 Th. II Feb. 2006.

Selengkapnya.....

Monday, May 5, 2008

Mal-Administrasi dalam Kepegawaian

Oleh: SUPRAPTO ESTEDE

MAL-PRAKTEK dalam administrasi publik (mal-administrasi) yang merupakan praktek administrasi yang menyimpang dan justru menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi, adalah suatu praktek yang melanggar etika administrasi. Etika administrasi merupakan seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai pedoman, referensi, acuan, dan penuntun apa yang harus dilakukan administrator publik (birokrat) dalam menjalankan tugasnya, serta sekaligus dapat digunakan sebagai standar penilaian apakah sikap, tindakan dan perilaku birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya itu dapat dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela.

***
Seperangkat nilai dalam etika birokrasi itu meliputi nilai-nilai: efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, accountable, impersonal, merytal system, responsible, dan responsiveness (Widodo, 2001: 252). Empat nilai yang disebut terakhir amat berhubungan dengan masalah personalia atau kepegawaian.

Dengan nilai impersonal, seorang pemimpin atau pemegang kewenangan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai ketentuan yang berlaku, harus lebih menonjolkan unsur rasio daripada unsur perasaan. Dengan pendekatan ini siapa pun yang bersalah harus diberikan sanksi (punishment) secara adil dan siapa pun pegawai yang berprestasi selayaknya diberikan hadiah atau imbalan (rewards).

Merytal system merupakan suatu sistem penerimaan (recruitment), pemutasian, maupun promosi pegawai yang tidak didasarkan pada hubungan kerabat dan sobat (famili, alumni, etnis, golongan, dll), akan tetapi didasarkan pada pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan (capable) dan pengalaman (experience) yang dimiliki, sehingga pegawai yang bersangkutan akan menjadi cakap dan profesional.

Nilai responsibel (administrative responsibility) berarti memiliki rasa tanggung jawab (sense of responsibility) atau memiliki kemampuan dan kecakapan (capable to do) yang memadai dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Pertanggung-jawaban ini penting, karena masalah-masalah publik yang dihadapi oleh administrator publik semakin kompleks dan memerlukan ketrampilan teknis yang tinggi. Adapun nilai responsivitas terkait dengan daya tanggap yang tinggi dan cepat menanggapi apa yang menjadi keluhan, permasalahan, kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Nilai-nilai etika birokrasi tersebut harus betul-betul menjadi suatu norma yang diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik. Penyimpangan terhadap etika administrasi tersebut adalah tindakan mal-administrasi, yang dapat berkembang menjadi issue publik karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Artinya, masyarakatlah yang akan secara langsung merasakan dampak negatif dari mal-administrasi itu.
***
Dalam era reformasi sekarang ini, meski banyak contoh-contoh mal-praktek (mal-administrasi) pada tubuh birokrasi yang telah diblejeti satu persatu oleh masyarakat, terutama mal-praktek dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), namun dalam kenyataannya berbagai bentuk mal-administrasi masih saja terjadi, termasuk yang berkait dengan urusan kepegawaian, mulai dari meloloskan calon pegawai “titipan” meskipun secara obyektif nilai testnya tidak memenuhi syarat, hingga perlakuan-perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai.

Mal-praktek dalam administrasi dapat terjadi pada proses kenaikan pangkat. Misalnya, karir pegawai yang berprestasi dihambat, sementara pegawai lainnya yang pandai “melayani” kemauan sang “bos” memperoleh perlakuan istimewa dengan penerapan jurus “bajing loncat” (loncat sana, loncat sini) sehingga dalam waktu singkat pangkatnya dapat melesat bertingkat-tingkat (ala Naga Bonar), termasuk pendongkrakan pangkat lebih dari satu tingkat secara “sim salabim” untuk penyesuaian eselon.

Contoh lainnya adalah penempatan (placement) pegawai yang tidak pada tempat yang tepat atau tidak the right man on the right place. Akibatnya, banyak pegawai berilmu (berprestasi) yang tidak keduman jabatan, sementara yang kebagian jabatan justru tidak memiliki ilmu yang relevan dengan jabatannya. Dalam hal ini pemberian jabatan kepada pegawai dengan alasan sekedar “memberi kesempatan” tidaklah tepat karena jabatan bukanlah mainan untuk ajang coba-coba.

Tindakan birokrasi publik yang menyimpang dari etika administrasi juga dapat berupa kebijakan penerimaan, mutasi dan promosi yang tidak didasarkan pada merytal system, melainkan pada perasaan suka tidak suka (like and dislike), atau lebih parah lagi bahkan tanpa aturan yang jelas alias “semau gue”, semata-mata atas alasan kepentingan membangun sebuah jaringan untuk kelancaran income resource (sumber pendapatan), atau sekedar untuk power demonstration (demonstrasi kekuasaan). Dampaknya, pegawai akan kehilangan inisiatif dan kreatifitas kerja karena selalu dihantui oleh bayang-bayang monster mutasi yang bisa “menendang” setiap saat.
***
Tentunya, untuk mencegah timbulnya atau semakin parahnya mal-administrasi amat diperlukan adanya pengawasan yang intensif dan efektif, terutama kontrol sosial, sehingga tidak bertambah banyak lagi korban-korban mal-praktek yang berjatuhan dan menciptakan ketidaktenangan hidup warga masyarakat. Dan oleh karena perilaku administrasi publik itu juga tergantung kepada pribadi pelaku (manusia)-nya, maka kontrol internal dari hati nurani dalam bentuk keimanan dan ketaqwaan amatlah penting.**

Suprapto Estede
adalah dosen STIE Cendekia Bojonegoro

Sumber: Radar Bojonegoro, Selasa 11 Juni 2002.

Selengkapnya.....

Upaya Pengendalian Sosial Pemerintah Daerah Berbasis Etika

Oleh: HASAN ANWAR

DAMPAK nyata reformasi total yang digulirkan sejak empat tahun lalu antara lain terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintah bercorak sentralistis ke arah sistem yang bersifat desentralistis. Hal ini ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintahan yang desentralistis, sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang tersebut, memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mewujudkan otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, serta prakarsa dan aspirasi masyarakat sesuai dengan kondisi, potensi, karakteristik wilayah, dan nilai-nilai sosial-budaya yang berkembang dan berlaku.

Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, kedudukan kepala daerah adalah semata-mata sebagai “alat” daerah, tidak merangkap “alat” pusat dan tidak merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. Kepala daerah dibantu oleh wakil kepala daerah dipilih langsung oleh DPRD, tanpa campur tangan pusat. Calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD dan disahkan oleh presiden. Pengesahan oleh presiden terkait hasil pemilihan oleh DPRD. Hak prerogatif presiden dalam konstruksi ini tidak dianut lagi. Demikian pula Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Ini adalah konsekuensi pemisahan kedudukan yang tegas antara DPRD sebagai badan legislatif daerah dengan kepala daerah sebagai lembaga eksekutif daerah.

Kesimpulannya, DPRD diberdayakan sedemikian rupa sehingga benar-benar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat, sekaligus sebagai pengontrol pemerintah daerah.

Dengan kedudukan DPRD yang kuat vis a vis pemerintah daerah, maka harapan terwujudnya good and clean governance (tata pemerintahan yang baik dan bersih) serta demokratis sesungguhnya sangat besar. Namun, setelah mengamati fenomena yang terjadi di lapangan, ternyata harapan yang sangat menjanjikan itu berubah menjadi kecemasan di seputar proses otonomisasi tersebut. Di beberapa daerah, otonomi cenderung diartikan secara berlebihan dan kebablasan sehingga mengarah kepada separatisme. Sementara itu, kedudukan DPRD yang begitu kuat telah menimbulkan ekses berupa arogansi di kalangan anggota dewan. Sehingga, DPRD seolah-olah dapat berbuat apa saja, termasuk menetapkan kebijakan yang hanya menguntungksn anggota dewan, tanpa secara jujur dan bertanggung jawab mengadakan perenungan (muhasabah al nafs), sejauh mana dan sebesar apa DPRD telah berbuat dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang layak.

Bahkan, yang sangat memprihatinkan dan mengecewakan rakyat adalah sinyalemen bahwa banyak wakil rakyat yang terlibat dalam permainan money politics dalam setiap pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) maupun saat proses pambahasan laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah. Sehingga, persoalannya sekarang adalah bukan lagi seberapa jauh fungsi kontrol terhadap pemerintah daerah dapat benar-benar dijalankan oleh DPRD yang telah diangkat posisinya sedemikian kuatnya, melainkan sejauh mana DPRD telah menjalankan fungsinya dengan benar. Dengan demikian, jelaslah bahwa berlangsungnya pengendalian sosial bagi terwujudnya pemerintahan yang baik, bersih, dan bertanggung jawab di daerah tidak cukup hanya mengandalkan piranti struktural seperti kedudukan DPRD yang kuat, melainkan juga sangat memerlukan piranti yang bersifat kultural. Yakni, kesiapan dan kesadaran semua pihak, baik jajaran pemerintahan maupun legislatif untuk menjunjung tinggi dan menerapkan secara konsisten nilai-nilai dasar demokrasi dan etika religius dalam menjalankan tugasnya masing-masing.

Berangkat dari kenyatan tersebut, maka sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai dasar demokrasi meliputi (1) penghormatan terhadap orang per orang sebagai individu (respect of individual of personality) benar-benar ditegakkan. Nilai ini menuntut setiap anggota dewan atau siapa saja yang gandrung terhadap demokratisasi memiliki kecerdasan emosional. Dengan kecerdasan emosional, seseorang mampu mengendalikan emosinya yang sering tidak terkontrol. (2) Percaya rasionalisasi (ratonality) dalam berdemokrasi. Mengedepankan prinsip rasionalitas setiap mengambil kebijakan, tidak sebaliknya mengumbar emosi yang tak terkendali. (3) Kebebasan individu (individual freedom) dalam berdemokrasi harus memperoleh tempat yang proposional di kalangan warga. Dan, (4) persamaan dalam supremasi hukum, dan semua itu harus tetap dilaksanakan dalam bingkai konstitutionalism.

Dalam rangka mewujudkan good and clean governance, para pemimpin ditantang untuk mengaktualisasikan nilai-nilai etika yang selama ini masih banyak tersembunyi dalam lipatan kitab-kitab suci dan terkesan baru berada pada tataran retorika, pemahaman dan ritual semata, belum menyentuh pada tataran praktis kehidupan, khususnya dalam mengaktualisasikan fungsi mereka sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Para aktor, baik yang berada di jajaran eksekutif maupun legislatif, dituntut memiliki kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Kecerdasan spiritual inilah yang menjadi landasan utama kecerdasan-kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual membuahkan sifat jujur, terpercaya, komunikatif dan transparan.

Penulis adalah staf pengajar IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Sumber: Radar Bojonegoro, Selasa 28 Mei 2002, halaman 22.

Selengkapnya.....

APBD 2002 Bojonegoro Belum Peduli PT

Oleh: MOCH. SUBERI

SETIAP warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak (common consumption), termasuk pendidikan tinggi (PT). Namun, untuk memperoleh PT itu dibutuhkan biaya yang harus dibayar. Sehingga, banyak orang yang dengan mudah ditolak keinginannya untuk menikmati PT karena tidak mampu membayarnya. Berdasarkan karakteristik ini, maka PT dapat dikategorikan sebagai barang publik.

Penyediaan PT dapat dilakukan oleh pemerintah atau swasta. Penyediaan oleh pihak swasta berarti memberi kesempatan kepada pihak swasta untuk berperan serta memberikan pelayanan publik yang seharusnya menjadi tugas dan fungsi birokrasi publik. PT di Bojonegoro disediakan oleh pihak swasta. Meskipun demikian, pihak pemerintah kabupaten (pemkab) seharusnya peduli adanya PT di daerah. Sebab, bagaimanapun, PT di daerah merupakan aset bagi daerah tersebut.
***
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah - diantaranya - mempunyai tujuan pokok untuk menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proposional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab (akuntabel), dan pasti.

Belanja pembangunan APBD Bojonegoro tahun 2002 pada pos atau pasal 2P.0.11.2 Program Pemantapan Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, Menengah dan Tinggi yang terdiri atas 18 proyek senilai Rp. 1.924.200.000,- ternyata tidak ada satupun proyek yang mengarah pada PT. Mekanisme pembahasan di Panggar (Panitia Anggaran) DPRD, menurut salah satu anggota dewan dari komisi C, telah dibahas dan diusulkan kepada eksekutif untuk memperhatikan PT di Bojonegoro. Namun, yang terjadi pada APBD 2002 sama sekali belum tampak kepeduliannya terhadap PT.

Dengan adanya otda (otonomi daerah), sebenarnya melalui APBD amat memungkinkan bagi pemkab untuk lebih peduli dan berbuat banyak pada PT yang ada di daerah, bahkan ada pemkab dari daerah lain yang telah berhasil mendirikan perguruan tinggi negeri (PTN) seperti Universitas Trunojoyo di Madura.
***
Kontribusi perguruan tinggi swasta (PTS) sebagai lembaga PT di Bojonegoro melalui pelaksanaan tridharma PT cukup besar. Misalnya, pada bidang pendidikan dan pengajaran, setiap PT telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, teknologi, serta keahlian pada bidang tertentu kepada mahasiswa dan alumninya. Sudah puluhan ribu alumni yang telah dihasilkan oleh PTS-PTS di Bojonegoro dan masih ada ribuan mahasiswa lagi yang sekarang masih kuliah. Para mahasiswa dan alumni tersebut sebagian besar adalah para karyawan di pemkab Bojonegoro serta masyarakat Bojonegoro dan sekitarnya. Dengan demikian, andil PT di daerah dalam rangka meningkatkan kualitas SDM karyawan pemkab maupun masyarakat Bojonegoro dan sekitarnya adalah cukup besar.

Demikian juga pada bidang penelitian dan pengabdian pada masyarakat, seminar-seminar baik yang dilakukan oleh para mahasiswa dan dosen telah mengarahkan tema penelitian dan pengabdiannya pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat lapisan bawah yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas kehidupan mereka. Disamping itu, dengan adanya PT daerah, perputaran uang yang ada juga tidak akan seluruhnya lari ke ibukota propinsi karena sebagian warganya tetap kuliah di daerahnya. Melalui multiplier efek, tentu akan berdampak pada masyarakat luas.
***
Pemkab Bojonegoro yang menitikberatkan pada program P4K (pangan, pariwisata, prasarana, pendidikan,dan kesehatan) sebenarnya dapat memberikan peluang bagi keterlibatan PTS. Melalui salah satu program pendidikan, misalnya, minimal untuk pos/pasal 2P.0.11.2.10 Proyek Lomba Karya Ilmiah Remaja dengan dana Rp. 10.000.000,- yang pelaksananya adalah Dinas Pendidikan - sebenarnya dapat diserahkan pelaksanaannya pada PT di Bojonegoro, dan dengan pos/pasal 2P.0.11.3 Program bantuan pengembangan untuk sekolah-sekolah swasta sebenarnya dapat juga sebagian digunakan untuk membantu pengembangan PTS di Bojonegoro. Dan pos/pasal lainnya yang memungkinkan bagi keterlibatan PTS di daerah.

Pemkab Bojonegoro dapat juga menunjuk PT di daerah untuk ikut serta mendampingi sebagai konsultan beberapa program atau proyek yang ada, atau melibatkannya dalam kegiatan-kegiatan penelitian. Dalam hal ini, Pemkab Bojonegoro seharusnya tidak meragukan lagi kemampuan PT di daerahnya karena dengan terakreditasinya program – program studi pada PTS di daerah berarti telah diakui keberadaan dan kemandiriannya dalam melaksanakan tridharma PT.

Bentuk kepedulian lain yang dapat dilakukan pemkab yaitu dengan memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi tetapi kurang mampu.Dan lebih baik lagi jika dapat ditambahkan program atau proyek lainnya yang secara langsung diarahkan kepada PT, sehingga PTS-PTS yang bersangkutan dapat lebih meningkatkan lagi peran aktifnya dalam membantu upaya mencerdaskan dan memberdayakan kehidupan masyarakat Bojonegoro dan sekitarnya.

Tentu amat disayangkan bahwa Bojonegoro sebagai peraih Widyakrama Utama karena dinilai peduli nasib guru dan berhasil menekan buta huruf ternyata belum dilengkapi dengan kepeduliaannya terhadap PT yang ada di Bojonegoro. Oleh karena itu, akan lebih sempurna kiranya apabila di masa datang pihak eksekutif dan legislatif dalam menyusun APBD juga memperhatikan PT. Semoga!

Penulis adalah dosen STIE Cendekia Bojonegoro.
Sumber: Radar Bojonegoro, Selasa 21 Mei 2002 halaman 22.

Selengkapnya.....

Pengawasan Masyarakat

Oleh: SUPRAPTO ESTEDE

SEJAK otonomi daerah secara legal-formal mulai berjalan dengan keluarnya UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, disamping telah muncul kekhawatiran karena kebijakan baru tersebut dipandang mengandung sejumlah kontroversi dan keterbatasan, sekaligus juga telah menerbitkan banyak harapan karena kebijakan tersebut dipandang dan diharapkan sebagai jalan baru untuk menciptakan sejumlah tatanan yang lebih baik, dalam suatu skema good governance, dengan segala prinsip dasarnya, terutama terdapatnya akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan adanya partisipasi rakyat.

Partisipasi rakyat amat penting, sebab tanpa keterlibatan rakyat maka kebijakan penguasa akan sangat jauh dari aspirasi, kepentingan, dan kebutuhan rakyat. Di samping itu, tiadanya partisipasi rakyat juga mengakibatkan kendornya pengawasan masyarakat (social control), sehingga banyak terjadi pengingkaran terhadap amanat rakyat dan munculnya berbagai penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, konsep otonomi, bila hanya bermakna pembagian kekuasaan (sharing of power) di antara elite, tentunya tidak akan mampu menciptakan tatanan yang diharapkan. Di sinilah makna penting perlunya memberi harga pada partisipasi rakyat, termasuk prakarsa dan pengawasan masyarakat.

Mengenai pengawasan, khususnya pengawasan masyarakat, telah dengan jelas diatur di dalam Keppres No. 74 Tahun 2001 yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 19 PP No. 20 Tahun 2001. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan tersebut terdiri atas pengawasan fungsional, pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat. Pengawasan fungsional dilakukan oleh Lembaga/Badan/Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan, dan penilaian. Pengawasan legislatif dilakukan oleh Dewan (DPRD) terhadap pemerintah daerah sesuai tugas, wewenang dan haknya. Sedangkan pengawasan masyarakat dilakukan langsung oleh masyarakat.

Urgensi masalah pengawasan masyarakat ini menjadi lebih nyata dengan adanya berita-berita di Radar Bojonegoro hari-hari terakhir ini mengenai temuan BPK yang mengindikasikan telah terjadinya berbagai penyimpangan bernilai miliaran rupiah dalam pelaksanaan APBD 2001 di lingkungan Pemerintah Kabupaten dan DPRD Bojonegoro. Sebab, dengan munculnya berita dan temuan penyimpangan tersebut, maka pengawasan fungsional yang seharusnya dilakukan oleh Bupati terhadap kegiatan Pemerintah Kabupaten melalui Badan/Lembaga Pengawas Daerah, menjadi dipertanyakan efektifitas dan kejujurannya. Demikian pula pengawasan legislatif, yang seharusnya dilakukan oleh Dewan atas pelaksanaan kebijakan Daerah melalui fraksi-fraksi, komisi-komisi, dan alat kelengkapan lain yang dibentuk sesuai dengan peraturan tata tertib Dewan, menjadi kehilangan arti, dan juga kehilangan kepercayaan dari rakyat yang diwakilinya, karena anggota Dewan yang seharusnya bersifat amanah dalam menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi serta kepentingan rakyat, justru ikut berbasah-basah dalam kubangan kotoran penyimpangan.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah perilaku para anggota Dewan dalam mensikapi temuan BPK tersebut. Mereka bukannya menunjukkan sikap arif dan kesatria, tetapi malah terkesan berusaha mengalihkan masalah untuk menutupi kebopengannya yang sudah terlanjur terbuka. Mereka bukannya menyesali terjadinya penyimpangan itu, tetapi justru menyesali mengapa temuan BPK dan berita mengenai penyimpangan itu bisa beredar luas di masyarakat. Tampak jelas telah terjadi keterkejutan dan kepanikan di kalangan anggota Dewan. Sebagaimana ditulis oleh Hasan Anwar (Radar Bojonegoro, 1/5), antarmereka justru saling menyalahkan, bahkan berusaha saling menjatuhkan hanya untuk kepentingan menyelamatkan diri sendiri. Munculnya “makhluk aneh” bernama Gerttak (Gerakan Tigapuluh Tiga Anti Konflik) yang tidak jelas jluntrungnya itu juga semakin membuktikan adanya kepanikan tersebut.

Jika demikian halnya, maka satu-satunya pengawasan yang diharapkan masih dapat berjalan jujur dan bersih tinggallah pengawasan masyarakat. Pengawasan masyarakat tersebut dilakukan terhadap penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten dan meliputi seluruh kewenangan Daerah berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Anggota masyarakat dapat melakukan pengawasan secara perorangan, kelompok maupun organisasi masyarakat. Sedangkan tatacara pengawasan masyarakat tersebut adalah melalui pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan Pemerintah Daerah maupun DPRD; serta dengan penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan dan penyempurnaan, baik preventif maupun represif, atas masalah yang disampaikan.

Pengawasan masyarakat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Dalam hal ini Bupati dan Pimpinan Dewan tidak boleh menolak pengawasan dan harus melaksanakan tindak lanjut hasil pelaksanaan pengawasan. Dan masyarakat yang melakukan pengawasan berhak untuk memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan.

Masyarakat juga dapat mendorong dan mengoreksi agar para wakilnya yang duduk di badan legislatif dapat menunaikan tugas kewajibannya dengan baik dan lurus serta selalu memberi support agar para wakil rakyat tersebut memiliki kemauan dan keberanian untuk bersikap tegas dan jujur dalam menjalankan tugasnya, terutama kemauan untuk melakukan introspeksi dan keberanian untuk menilai secara obyektif hasil kinerja Bupati selaku pimpinan badan eksekutif Daerah.

Akhirnya, agar dapat memperoleh hasil pengawasan yang berkesinambungan, maka pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah harus dilaksanakan secara terus menerus, sekaligus untuk menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan dalam upaya mencegah berlanjutnya kesalahan dan atau penyimpangan, serta untuk menumbuhkan motivasi, memperbaiki, mengurangi dan atau meniadakan penyimpangan. Dan dalam hal ini warga masyarakat dituntut agar memiliki kepedulian terhadap daerah dan masa depannya, sebab kalau tidak demikian maka jangan menyesal jika suatu saat daerahnya akan menjelma menjadi sebuah kerajaan Bethara-Kala! Na’udzu billah min dzalik.

Suprapto Estede,
adalah dosen STIE Cendekia Bojonegoro

Sumber: Radar Bojonegoro, Selasa 7 Mei 2002

Selengkapnya.....

Mensyukuri Nikmat Kebebasan

Dengan Memperkokoh Persatuan

Bojonegoro, 8 September 2000
Oleh: SUPRAPTO ESTEDE

Kita mesti selalu bersyukur bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa telah berulangkali memberikan nikmat kebebasan atau kemerdekaan kepada kita bangsa Indonesia. Ketika pada 55 tahun yang lalu kita merdeka dari kolonialis Belanda dan Jepang, kita lupa mensyukurinya, sehingga kita jatuh ke masa kelam di era Orde Lama. Ketika sekali lagi kita merdeka dari cengkeraman Orde Lama, kita lalai bersyukur dan terjerembab ke dalam belenggu penguasa Orde Baru. Sekian kali kita berhasil keluar dari mulut harimau, sekian kali pula kita masuk kembali ke mulut buaya. Dan sekarang ini Tuhan kembali memberikan nikmat kemerdekaan itu kepada kita. Merdeka dari kelaliman penguasa di era Orde Baru. Akankah sejarah kelabu masa lalu kembali berulang? Mengapa kita belum juga mau bersyukur?

Salah satu wujud rasa syukur atas nikmat kemerdekaan itu, seharusnya kita selalu mengingat cita-cita bangsa kita mendirikan Republik ini, sebagaimana yang secara tegas telah tersurat didalam alinea II Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk mewujudkan sebuah bangsa dan negara yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Dari rumusan cita-cita itu jelas bahwa kemerdekaan adalah jembatan atau pintu masuk untuk menggapai bangsa yang bersatu. Masyarakat yang adil dan makmur atau masyarakat yang sejahtera hanya akan mampu diwujudkan oleh bangsa yang berdaulat. Dan suatu bangsa akan memiliki kedaulatan dan menikmati kesejahteraan jika bersatu dan mampu memelihara persatuan. Bangsa yang berpecah-belah dan bercerai-berai terbukti tidak akan menjadi bangsa yang maju, sejahtera dan cerdas.

Kesadaran akan pentingnya persatuan itu juga sudah ada pada para tokoh pendiri Republik. Hal ini terbukti didalam rumusan pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, sebagaimana termaktub di dalam Penjelasan tentang UUD Negara Indonesia. Dijelaskan bahwa dalam Pembukaan UUD diterima aliran pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi, negara mengatasi segala faham golongan, mengatasi segala faham perseorangan. Negara, menurut pengertian Pembukaan itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar negara yang tidak boleh dilupakan.

Memelihara dan memperkokoh persatuan itu menjadi bertambah penting dengan adanya realita bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang majemuk, yang pluralistik, yang beragam dan beraneka, terdiri dari banyak suku bangsa, adat istiadat, bahasa, agama, dan lain-lainnya. Adanya kemajemukan itu menuntut kepada setiap warga yang menjadi komponen bangsa untuk selalu menanamkan dan mengembangkan sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai secara aktif dan positif.

Pengembangan prinsip persatuan secara harmonis dan dinamis itu tetap relevan di era reformasi sekarang ini. Kemerdekaan dan kebebasan yang dimiliki oleh seseorang atau suatu kelompok tidak boleh menjadi ancaman atau gangguan bagi seseorang atau kelompok yang lain. Kemajemukan yang ada harus mampu dikelola sedemikian rupa sehingga menjadi rahmat bagi bangsa, dan bukan sebaliknya, justru menjadi benih perpecahan dan disintegrasi.

Nilai persatuan juga telah terkandung di dalam sila ke tiga Pancasila, yang meliputi makna persatuan dalam arti ideologis, ekonomi, politik, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Nilai persatuan yang dikembangkan dari pengalaman sejarah bangsa dan yang didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas itu bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan ketertiban dunia. Perwujudan persatuan Indonesia ini adalah manifestasi dari faham kebangsaan yang memberi tempat bagi keberagaman budaya dan aspirasi.

Dan yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa nilai persatuan itu harus senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai kemanusiaan, yang menempatkan manusia pada kedudukan yang sesuai dengan harkat dan martabatnya, yakni manusia yang menyadari bahwa dirinya tidak akan dapat hidup sempurna tanpa keberadaan dan pertolongan orang lain, manusia yang menghargai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.

Sebagai sebuah ideologi terbuka, Pancasila membuka diri untuk selalu diadakannya perubahan dan penyempurnaan, sesuai dengan kehendak rakyat seiring dengan perkembangan zaman. Pada era reformasi sekarang, perubahan itu secara bertahap telah dilakukan oleh rakyat melalui para wakilnya di MPR, dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945, suatu hal yang amat tabu dilakukan pada era sebelumnya. Namun reformasi apa pun namanya tak akan ada manfaatnya jika anak bangsa ini menjadi carut-marut dan tercerai-berai.

Relevan dengan pentingnya pembinaan persatuan Indonesia ini GBHN 1999-2004 juga telah memberikan amanah kepada pemerintah agar meningkatkan pendidikan politik secara intensif dan komprehensif kepada masyarakat untuk mengembangkan budaya politik yang demokratis, menghormati keberagaman aspirasi, dan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta memasyarakatkan dan menerapkan prinsip persamaan dan anti-diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan dalam hal mengembangkan budaya demokratis itu kita harus selalu waspada terhadap semangat dan faham dari komunisme dan liberalisme.

Akhirnya, nilai-nilai persatuan dan kemanusiaan itu dalam semangat, penghayatan dan pengamalannya haruslah dijiwai oleh nilai-nilai ketuhanan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah untuk saling mengenal, menghormati, dan saling menolong, dan bukannya saling menganiaya dan membunuh. Dalam suasana seperti sekarang ini, sepantasnya bila kita bersyukur dan kembali kepada ajaran Tuhan. Allah SWT telah berfirman: “Berpegang teguhlah kamu pada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara…” (QS Ali Imran 103).***

Suprapto Estede,
Ketua STIE Cendekia Bojonegoro 1997-2001
dan dosen Kopertis Wilayah VII Jawa Timur.

Selengkapnya.....