Monday, May 5, 2008

Optimalisasi Pendayagunaan Potensi Daerah

Untuk Mewujudkan Kemandirian, Keunggulan dan Kesejahteraan
(Pembangunan Daerah Berbasis Pemberdayaan Potensi Lokal)
Oleh: AMAN SUDARTO

Pengantar


1. Isu tentang upaya peningkatan kemandirian daerah, keunggulan daerah dan kesejahteraan masyarakat di daerah menjadi perhatian banyak pihak seiring dengan terus berjalannya waktu implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (yang praksisnya belum juga menemukan format yang mantap). Senjata andalannya adalah optimalisasi pendayagunaan potensi daerah. Konstelasi pemikiran demikian tentu saja berada pada jalur yang benar, hanya permasalahannya adalah seberapa jauh pendayagunaan potensi daerah tersebut optimal, dan strategi bagaimana yang ditempuh untuk mewujudkan kemandirian, keunggulan dan kesejahteraan daerah tersebut.

2. Dalam berbagai analisis ekonomi, strategi yang dipandang tepat untuk diterapkan adalah melakukan transformasi bertahap dari perekonomian daerah yang mengandalkan basis keunggulan komparatif SDA nelimpah menjadi perekonomian daerah yang mengandalkan keunggulan kompetitif. Disini berarti bahwa potensi daerah dengan basis keunggulan komparatif SDA yang melimpah akan kurang berarti bagi pembangunan daerah yang berkelanjutan apabila tidak berdanpak pada dimilikinya basis keunggulan kompetitif untuk mewujudkan kemandirian, daya saing dan kesejahteraan daerah.

3. Banyak contoh daerah dan juga negara yang mengambil strategi pembangunan berbasiskan keunggulan kompetitif (meskipun tidak memiliki keunggulan komparatif SDA) dan kemudian berhasil dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan bagi daerah dan negaranya (meskipun ada yang baru prospektif). Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa di masa lampau Indonesia berhasil menikmati pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada dekade tahun 1980-an melalui pembangunan infrastruktur, pemanfaatan sumberdaya alam serta pinjaman luar negeri, namun kemudian mengalami keterpurukan yang dalam. Sampai saat ini masih terkendala untuk bangkit dengan cepat karena tidak didukung oleh basis keunggulan kompetitif yang kuat dan basis landasan pembangunan yang kokoh.

4. Dari uraian tema dialog publik ini sebenarnya terfokus pada bagaimana mengarahkan pendayagunaan potensi daerah yang berbasis sumberdaya alam secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat di daerah, melalui perwujudan kemandirian dan keunggulan daerah. Bagaimana masyarakat mendapatkan intended impact (bukan unintended impact dan bahkan externalities) dari implementasi kebijakan pendayagunaan potensi daerah berbasis SDA. Bagaimana masyarakat tidak menjadi obyek dari kebijakan tersebut, tetapi merupakan subyek dari upaya pembangunan secara berkelanjutan. Bagaimana masyarakat memiliki resistensi yang cukup tinggi terhadap berbagai dampak yang diprediksi timbul di era industrialisasi SDA. Singkatnya, bagaimana masyarakat berdaya dengan kepemilikan keunggulan komparatif SDA yang sangat menjanjikan.

Strategi Penberdayaan Potensi Lokal : Pemberdayaan Masyarakat

5. Pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu paradigma pembangunan hakekatnya adalah sebagai sebuah strategi yang mengedepankan partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan. Namun demikian dalam praksisnya terjadi berbagai bias dalam pemberdayaan masyarakat.
• Bias pertama, adalah adanya kecenderungan berfikir bahwa dimensi rasional dari pembangunan lebih penting dari dimensi moralnya, dimensi material lebih penting daripada dimensi kelembagaannya, dan dimensi ekonomi lebih penting dari dimendi sosialnya. Akibat dari anggapan tersebut ialah alokasi sumberdaya pembangunan diprioritaskan menurut jalan pikiran tersebut.
• Bias kedua, adalah anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman dan aspirasi pembangunan di tingkat bawah (grass root). Akibatnya, kebijakan pembangunan banyak yang kurang efektif.
• Bias ketiga, adalah adanya anggapan bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang di masyarakat cenderung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan. Anggapan ini membuat lembaga-lembaga masyarakat di lapisan bawah menjadi kurang berdaya.
• Bias keempat, adalah anggapan bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang diperlukannya atau bagaimana memperbaiki nasibnya, dan tidak memiliki kemampuan untuk melihat prospek kebutuhan ke depan. Oleh karenanya mereka harus dituntun dan diberi petunjuk, dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan dan formulasi kebijakan publik, meskipun berkaitan dengan hak-hak warga masyarakat. Akibatnya banyak terjadi kebijakan publik yang “jelek” dan menghasilkan unintended impact.

6. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya, yang menikmati haruslah menghasilkan. Dalam kerangka pemikiran itu maka berbagai sumberdaya sebagai input yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan harus ditempatkan sebagai pemacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Proses demikian ini hakekatnya diarahkan untuk capacity building masyarakat.

7. Pengembangan strategi pemberdayaan masyarakat haruslah ditujukan pada dua arah, yaitu dengan menyadari bahwa ada masalah struktural dalam perekonomian dan juga dalam tatanan sosial yang memisahkan lapisan masyarakat yang “maju” (biasanya ada pada sektor modern) dan yang tertinggal dan berada di sektor tradisional. Strategi pembangunan ke dua sektor ini tentu tidak sama. Strategi pertama adalah dengan jalan memberi peluang agar sektor modern dapat terus maju, karena kemajuannya memang dibutuhkan untuk pembangunan secara keseluruhan. Tetapi strategi ini perlu diterapkan dengan lebih memberikan keleluasaan tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah (dengan reinventing government). Untuk strategi yang kedua, adalah dengan memberdayakan masyarakat yang tertinggal dan hidup di luar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Karena mereka memiliki hak yang sama dengan masyarakat yang hidup pada sektor pertama maka mutlak diperlukan pemberdayaan kehidupan ekonomi, sosial dan politik mereka. Pemberdayaan masyarakat kelompok ini dapat dilakukan melalui tiga jurusan:
• Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang kondusif dan memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang (enabling), dan membangun daya mereka dengan mendorong (encourage), memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan perlunya mereka semakin berdaya.
• Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah nyata dan lebih positif dari sekedar menciptakan iklim dan suasana. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok dilakukan adalah meningkatkan human development index.
• Ketiga, pemberdayaan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan ini harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat.

Optimalisasi Pendayagunaan SDA Bagi Pembangunan Berkelanjutan

8. Dalam pengelolaan SDA memang wajar ada kekhawatiran terjadi kesalahan dalam meletakkan paradigma pembangunan, karena memang pada tataran lokal terdapat contoh demikian itu. Pengelolaan SDA seharusnyalah memberi manfaat bagi masyarakat secara adil dan berbagai pihak secara luas, karena sesuai mandat UUD kita Pasal 33 ayat (3) adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan. Namun ada yang terjadi pengelolaan SDA masih lebih menitikberatkan asas ekonomi dimana eksploitasi SDA sebagai sumber devisa namun kurang secara cermat memperhitungkan biaya-biaya lingkungan, dampak terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat dan kerusakan lingkungan (apalagi tidak terbarukan). Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi SDA secara berlebihan sehingga menurunkan kualitas (degradasi) dan kuantitas (deplesi) SDA dan lingkungan hidup.

9. Memang secara kritis dapat dijelaskan bahwa konsepsi pengelolaan SDA meletakkan pada paradigma yang berbasis negara. Implikasi paradigma ini adalah memberikan wewenang penuh pada negara untuk menguasai, memiliki dan mengatur pengelolaan SDA. Hal ini biasanya dicirikan dengan bentuk institusi dan kebijakan sentralistik, pendekatan atas-bawah, orientasi target ekonomi, perencanaan makro, dan lain-lain. Kondisi demikian ini memang rentan terhadap masuknya kelompok kepentingan (apalagi yang tidak bertanggung jawab) yang bermaksud mendapatkan keuntungan atas pengelolaan SDA ini dan menjauhkan partisipasi para pihak (terutama masyarakat) secara luas. Selanjutnya, bila kembali ke mandat pasal 33 ayat (3) maka pertanyaan yang harus dijawab secara lugas adalah siapa yang paling berkepentingan secara primer dengan pengelolaan SDA. Sesungguhnya, masyarakatlah yang justru sebagai pihak yang paling punya kepentingan. Tentu masyarakat yang hidup di wilayah eksploitasi SDA berkeinginan untuk tidak menjadi pihak yang banyak dirugikan, dan berdaya dalam konstelasi politik lokal dan nasional.

10. Reformasi pengelolaan SDA sebagai prasyarat terwujudnya pembangunan berkelanjutan dapat dinilai dengan baik manakala terumuskan parameter yang memadai. Secara implementatif parameter yang dapat dirumuskan antara lain:
• Mulai memperhitungkan asas desentralisasi dalam pengelolaan SDA dengan mengikuti prinsip dan pendekatan ekosistem, bukan administratif.
• Kontrol sosial masyarakat dengan melalui pengembangan transparansi proses pengambilan keputusan dan peranserta masyarakat. Kontrol sosial ini dapat dimaknai pula sebagai partisipasi dan kedaulatan yang dimiliki (sebagai hak) rakyat. Dengan demikian dapat dikembangkan pemenuhan hak yang sama dalam proses kebijakan publik pengelolaan SDA.
• Pendekatan yang utuh dan menyeluruh atau komprehensif dalam pengelolaan SDA, artinya harus memperhatikan keterkaitan dan saling ketergantungan dengan berbagai sektor dan faktor lain yang ikut membentuk pembangunan berkelanjutan.
• Rasa keadilan bagi rakyat dalam pemanfaatan SDA, dimana rasa keadilan ini tidak semata bagi generasi sekarang, tetapi juga keadilan bagi generasi mendatang sesudah kita sekarang ini.

Saran Kelola Untuk Waktu Mendatang

11. Untuk mewujudkan kemandirian dan keunggulan Kabupaten Bojonegoro dapat diarahkan langkah-langkah sebagai berikut:
• Membangun struktur perekonomian daerah yang tangguh berlandaskan keunggulan kompetitif lokal terutama kontribusi dari pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari.
• Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan sehingga memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan per-kapita penduduk dan penurunan angka pengangguran secara signifikan.
• Meningkatkan daya saing daerah sehingga Kabupaten Bojonegoro dapat memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pembangunan di Jawa Timur dan Indonesia.
• Membangun jaringan infrastruktur perhubungan yang handal dan terintegrasi antara Wilayah Selatan, Tengah dan Utara Kabupaten Bojonegoro sehingga mendukung peningkatan kelancaran arus distribusi barang dan jasa serta mobilitas penduduk.
• Mengendalikan pengelolaan dan pendayagunaan SDA dan pelestarian fungsi lingkungan hidup guna mendukung kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang dan lestari.
• Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia masyarakat Kabupaten Bojonegoro sehingga mampu dan berdaya untuk membangun partisipasi aktif dalam pembangunan, dengan ciri:
 Meningkatnya kualitas SDM yang ditandai dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Daya Saing SDM masyarakat Kabupaten Bojonegoro;
 Meningkatnya keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses perumusan kebijakan publik, pelaksanaan kebijakan publik, serta pengawasan dan pengendalian kebijakan publik;
 Meningkatnya kualitas peran masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan dan semakin berdayanya masyarakat untuk berperan sebagai pelaku pembangunan.

12. Untuk mewujudkan masyarakat Kabupaten Bojonegoro yang sejahtera secara merata dan berkeadilan, dapat diarahkan langkah-langkah sebagai berikut:
• Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Kabupaten Bojonegoro.
• Mewujudkan pemerataan keberhasilan pelaksanaan pembangunan kesejahteraan rakyat di seluruh SSWP Kabupaten Bojonegoro (I – IV) sesuai dengan core competency masing-masing.
• Mengatasi adanya kesenjangan hasil pembangunan antar wilayah (khususnya antara Wilayah Selatan dan Utara Kabupaten Bojonegoro) dan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.
• Memantapkan tingkat kemandirian pangan Kabupaten Bojonegoro yang didukung peningkatan kualitas gizi masyarakat dan tersedianya instrumen jaminan pangan untuk tingkat rumah tangga.
• Mendorong terpenuhinya kebutuhan permukiman penduduk dan lingkungan pendukungnya yang memenuhi kriteria sehat dan layak huni baik di perkotaan maupun di perdesaan Kabupaten Bojonegoro.
• Mewujudkan praksis demokratisasi berdasarkan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah guna mewujudkan tata kepemerintahan yang baik di Kabupaten Bojonegoro, dengan ciri:
 Tegaknya supremasi hukum dan HAM dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
 Terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan hukum, birokrasi yang netral dan profesional, serta adanya kemandirian masyarakat sipil, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi sebagai domain dari kepemerintahan yang baik;
 Terbentuknya kedewasaan masyarakat, berfungsinya pranata-pranata kemasyarakatan, lembaga hukum dan lembaga politik sehingga mampu menunjang perwujudan tata pemerintahan yang baik;
 Meningkatnya profesionalisme birokrasi penyelenggara pemerintahan daerah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab sehingga mampu mendorong tingginya partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah.

13. Sekian dan semoga bermanfaat.

Salam dari Surabaya, 01-07-2006

Aman Sudarto
Widyaiswara Utama Badan Diklat Prop. Jatim-LAN RI
Dosen Program Pascasarjana di Surabaya
Lahir dan besar di Bojonegoro

Disampaikan pada acara Dialog Publik
Revitalisasi Peran ICMI Dalam Pembangunan Bojonegoro ke Depan
Dalam rangka Pengukuhan Pengurus ICMI Orda Bojonegoro
tanggal 1 Juli 2006 di Gedung Islamic Center Bojonegoro